Senin, 03 Desember 2007

Fenomena Samira dan Samir

Saat membaca Novel Samira dan Samir saya seolah tidak asing dengan kondisi Samira yang karena keadaan dan tuntutan adat istiadat terpaksa menjadi samir yang notabene menentang kodratnya sebagai perempuan. Demi menjaga nama baik keluarga Samira berlatih pedang, menunggang kuda, memainkan permainan yang seharusnya dilakukan oleh anak laki-laki. Dan bahkan setelah pak Komandan-ayahnya meninggal dia memikul beban sebagai kepala keluarga, menjada dan memenuhi nafkah keluarga, yang memaksa dia melakukan tindakan yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang perempuan pada zamannya. Membunuh...ya dia telah membunuh demi menjada kehormatan ibunya.

Sosok Samir dalam diri Samira hadir karena tuntutan Egoiesme adat yang menghendaki kehadiran anak laki-laki sebagai putra sulung demi melanjutkan silsilah keluarga. Tapi lain hal di Indonesia Sosok untuk memikul beban dan menjadu tulang punggung keluarga Samira tidak harus menjadi Samir.

Tapi di Indonesia Samira harus tetap jadi Samira agar dia bisa menjadi Samir yang mendukung perekonomian keluarga. Jika Samira menjadi Samir dia akan kesulitan mendapatkan pekerjaan apalagi kalau hanya mengandalkan Ijazah SMA.

Ini bukan ilustrasi kasus tapi ini kenyataan yang aku alami sendiri, bekerja sebagai praktiis Sumber Daya Manusia requarement untuk calon karyawan baru adalah disyaratkan perempuan "fresh graduated".

Minggu, 02 Desember 2007